Hasil hitung cepat atau quick count sejumlah lembaga menempatkan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, di urutan pertama.
Menurut quick count Litbang Kompas per Kamis (15/2/2024) pukul 21.19 WIB dengan jumlah data masuk 98,05 persen, Prabowo-Gibran unggul dengan perolehan 58,47 persen suara.
Sementara, pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, berada di urutan kedua dengan 25,32 persen suara.
Sedangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 3, Gajar Pranowo-Mahfud MD, di urutan buntut dengan persentase suara 16,21 persen.
Namun, tingginya perolehan suara Prabowo-Gibran tersebut tak sejalan dengan perolehan suara Partai Gerindra, partai pimpinan Prabowo.
Mengacu quick count Litbang Kompas per Kamis (15/2/2024) pukul 21.30 WIB dengan data masuk 95,95 persen, Gerindra mendulang 13,54 persen suara.
Ini menempatkan Gerindra di urutan ketiga Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
Perolehan suara tersebut tidak lebih unggul dari PDI Perjuangan (16,21 persen) dan Partai Golkar (14,61 persen).
Lantas, mengapa suara Prabowo tinggi sedangkan perolehan angka Gerindra tak lebih unggul dari PDI-P dan Golkar?
Peneliti Litbang Kompas Vincentius Gitiyarko memberikan penjelasan terkait ini.
Pertama, mengenai tingginya perolehan suara Prabowo-Gibran, ini tak lepas dari besarnya angka pemilih loyal Prabowo.
Prabowo yang pernah berkontestasi sebagai capres pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 memiliki pendukung yang sangat aktif, bahkan terkesan fanatis.
“Jadi Prabowo itu punya pemilih militan, apa pun yang dilakukan Prabowo itu setuju-setuju saja,” kata Totok, demikian sapaan akrab Vincentius, dalam program Obrolan Newsroom Kompas.com, Rabu (14/2/2024) malam.
Besarnya basis massa Prabowo ini ditambah dengan banyaknya massa pendukung Gibran.
Gibran sendiri memiliki pendukung yang besar karena Wali Kota Solo itu diasosiasikan dengan sang ayah, Presiden Joko Widodo.
Gabungan dari basis massa dua sosok tersebut melahirkan dukungan yang besar, di kisaran 50 persen.
Modal tersebut diperkuat dengan taktik kampanye Prabowo-Gibran, yang secara tidak langsung melibatkan cawe-cawe Jokowi.
Dengan bekal tersebut, tak heran jika kini Prabowo-Gibran unggul di kisaran perolehan suara 58 persen.
“Bangunan dukungan yang disusun terlalu kuat menggunakan modal sosial yang sudah ada, ditambah dengan modal elektoral dari Jokowi, ditambah dengan manuver politik yang tajam. Makanya itu enggak goyah,” ujar Totok.
Sementara, mengenai suara Gerindra yang tak unggul di pileg, Totok menduga ini berkaitan dengan faktor ideologi partai
Totok bilang, secara teoritik, seseorang memilih partai politik karena alasan ideologi, kesamaan pandangan, atau lainnya.
Bisa jadi, suara Gerindra tidak unggul lantaran secara ideologis sudah tak terlalu menarik.
“Mungkin karena secara ideologis dia sudah enggak terlalu menarik. Artinya, bukan dalam arti tidak menarik bagaimana, tetapi pemilih partai nasionalis yang lain, dia tidak terlalu tertarik untuk pindah partai, dia lebih pada soal (pilihan) presidennya saja,” terang Totok.
Ketimbang Gerindra, pemilih partai nasionalis lebih banyak menjatuhkan pilihan ke Partai Golkar.
Ini terbukti dari naiknya perolehan suara partai beringin tersebut menurut hasil quick count.
Bisa jadi, ini karena kampanye yang dilakukan Golkar lebih masif dan efektif ketimbang Gerindra.
“Di antara partai partai nasionalis ini berpindahnya relatif menjadi lebih sulit karena faktor daya tarik sudah kurang. Bagi pemilih, tinggal daya tarik praktikal yang sifatnya rasional, ekonomis sehari-hari,” tutur Totok.
Peneliti Litbang Kompas Bestian Nainggolan menilai, tidak ada anomali dalam perolehan suara PDI Perjuangan dan calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo yang diusung oleh partai tersebut.
Pasalnya, perolehan suara Ganjar dan PDI-P sama-sama turun dibandingkan hasil survei maupun pemilihan umum (pemilu) sebelumnya, meski PDI-P berada di posisi teratas di antara partai politik lain menurut hasil quick count.
“Saya tidak melihat sebagai suatu anomali. Kalau dikatakan anomali, kalau presidennya dengan partainya dalam proporsi yang sama, lah ini kan partainya turun juga, kecuali kalau partainya naik, calonnya turun, itu anomali,” kata Bestian kepada Kompas.com, Kamis (15/2/2024).
Bestian menuturkan, perbandingan suara antara PDI-P dan Ganjar pun berada di kisaran yang sama sehingga tak bisa disebut sebagai anomali.
“(Misal) PDI-P menang sampai sekian puluh persen, 50 persen, kemudian tiba-tiba capres yang diusungnya tidak 50 persen, tidak menang, itu anomali. Ini kan 16-17 persen, sementara capres yg diusungnya tuh segitu-segitu juga,” ujar dia.
Bestian melanjutkan, hasil hitung cepat ini justru menunjukkan bahwa PDI-P dan Ganjar sama-sama didukung oleh pemilih yang identik.
“Tokoh ini, calon ini yg diusung aprtai ini memang tidak punya pendukung, pendukungnya adalah pendukung partai itu yang identik dengan pendukungnya,” kata Bestian.
Di samping itu, Bestian menjelaskan mengapa PDI-P masih mendapatkan suara terbanyak meski calon presiden yang diusungnya berada di posisi buncit.
Menurut dia, PDI-P masih dapat bertahan karena didukung oleh kelompok yang ideologis, sedangkan kelompok pemilih Ganjar tergerus akibat arah dukungan Presiden Joko Widodo yang sebelumnya identik dengan PDI-P.
Selain itu, ia menilai, masyarakat juga mempertimbangkan calon anggota legislatif yang ditawarkan oleh partai politik, tidak sekadar melihat siapa yang diusung sebagai presiden.
“Presiden kayak semacam payung, sosok, tapi di bawah itu kan sosok-sosok juga yg ada dalam partai itu, banyak yg semuanya punya pendukung, itu yg saya rasa menjaga kekuatan ya, salah satu yg menjaga loyalitas,” kata Bestian.
“Jadi dia paling tidak sudah memisahkan antara pilihan terhadap presidennya oke dia bisa bernegosiasi di situ, tapi pilihan kepada partai, saya bernegosiasinya dengan caleg-caleg,” imbuh dia.
Sebelumnya, Ganjar menilai ada anomali dalam hasil hitung cepat sementara antara Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2024.
Sebab, perolehan suara Ganjar-Mahfud MD rendah di sejumlah wilayah basis massa PDI-P, tetapi PDI-P unggul secara nasional, termasuk di wilayah-wilayah kandang banteng, dalam perhitungan pileg.
Daerah yang ia maksud, antara lain, Jawa Tengah, Bali, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur yang dimenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
“Hasil dari quick count, perolehan PDI-P, saya kira masih tinggi ya, kalau enggak salah masih nomor satu ya. Agak anomali dengan suara saya,” kata Ganjar saat ditemui di Gedung High End, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Kamis (15/2/2024).
Ganjar menambahkan, pihaknya kini tengah menyelidiki penyebab anomali tersebut.
“Sepertinya, split tiketnya agak terlalu lebar,” tambah mantan Gubernur Jawa Tengah ini.
Peneliti Litbang Kompas Bestian Nainggolan mengungkapkan, hampir seluruh pemilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming memilih pasangan itu karena dinilai didukung oleh Presiden Joko Widodo.
Hal ini terungkap dari hasil exit poll yang dilakukan Litbang Kompas seusai pemungutan suara Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Rabu (14/2/2024) kemarin.
“Ternyata pemilih dari 02 ini adalah faktor terbesarnya adalah didukung oleh Jokowi, 99 persen pemilih 02 karena merasa ada dukungan dari Pak Jokowi di situ,” kata Bestian dalam program Obrolan Newsroom Kompas.com, Kamis (15/2/2024).
Menurut Bestian, hal ini menunjukkan bahwa faktor utama pemilih memilih Prabowo-Gibran bukan karena hal yang ada dalam diri kandidat tersebut.
Ia menuturkan, faktor terkait kapasitas pribadi merupakan faktor kedua terbesar dalam menentukan pilihan kepada Prabowo.
“Yaitu apa, berani dan tegas, ini selalu muncul dari dulu terhadap pilihan pada Pak Prabowo krn disimbolkan keberanian dan ketegasan simboliasi dari latar belakang kemiliteran,” kata Bestian.
Hasil exit poll juga menunjukkan bahwa mayoritas pemilih Jokowi pada Pilpres 2019 kini memilih Prabowo, begitu pula dengan mereka yang puas dengan kinerja Jokowi.
Hasil hitung cepat Litbang Kompas per Kamis sore pukul 17.01 WIB menunjukkan, Prabowo-Gibran memperoleh 58,51 persen suara, unggul dari pasangan Anies-Muhaimin (25,22 persen) dan pasangan Ganjar-Mahfud (16,27 persen).