Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan alasan utama perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products and Chemicals Inc. yang hengkang dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.
Proyek kebanggaan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) ini sejatinya diperlukan untuk menggantikan peran Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang sejauh ini masih banyak diimpor.
Sebagaimana diketahui, Air Products membangun konsorsium bersama dengan dua perusahaan BUMN Indonesia, yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan juga PT Pertamina (Persero).
Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite beberkan bahwa alasan dari perginya Air Products dari konsorsium hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Indonesia adalah karena perusahaan tersebut akan fokus pada pengembangan blue hydrogen atau hidrogen biru.
“Kan kemarin mereka (Air Products) minta mundur bukan karena apa, mereka lebih milih, dari suratnya ya, ke arah yang lain, blue hydrogen,” ujar Idris saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Kamis (16/2/2023).
Lebih lanjut, Idris menjelaskan bahwa Air Products memilih fokus pada pengembangan hidrogen biru melalui surat keterangannya. Idris menyebutkan pemerintahan Amerika Serikat memberikan insentif lebih besar kepada perusahaan untuk mengolah hidrogen biru.
“Karena dari pemerintah mereka ngasih intensif yang lebih besar,” tambahnya.
Seperti diketahui, Air Products memilih angkat kaki dari dua proyek gasifikasi batu bara RI. Dua proyek tersebut yakni proyek DME dengan PTBA dan Pertamina, dan juga proyek gasifikasi batu bara menjadi etanol dengan perusahaan Bakrie Group, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.
Di samping itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) selaku salah satu mitra telah mempersiapkan kawasan ekonomi khusus seluas 585 hektar dan cadangan batu bara selama 20 tahun dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan merespons Air Products dari proyek hilirisasi batu bara itu.
Luhut bilang, saat ini pemerintah tengah melakukan pembahasan penting mengenai kelanjutan program hilirisasi batu bara RI. “Saya rasa masih harus ada beberapa (pembahasan) teknis yang harus diselesaikan. Kita lihat lagi nanti (terkait penggantinya),” ujar Luhut ditemui di Jakarta, Selasa (14/3/2023).
Adapun, Ketua Indonesian Mining & Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengaku cukup terkejut dengan keputusan Air Products keluar dari proyek kerja sama hilirisasi batu bara. Mengingat, Presiden sendiri telah menerima kunjungan Chairman dan CEO Air Products beberapa waktu lalu.
“Jelas ini mempengaruhi peta yang ditetapkan pemerintah dalam substitusi LPG ke depan. Ini sudah dimasukkan Menteri sebagai green energy nasional,” ujar Singgih dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia, dikutip Kamis (16/3/2023).
Oleh sebab itu, Singgih menilai apabila memang Air Products mundur maka pemerintah harus mempersiapkan langkah selanjutnya. Bagaimana memastikan bahwa proyek DME yang digadang-gadang bisa menjadi pengganti gas LPG ini bisa berjalan kembali.
Menurut Singgih proyek hilirisasi batu bara pada dasarnya memerlukan investasi yang cukup besar. Maka dari itu, pemerintah cukup adil bahwa proyek ini ditugaskan kepada perusahaan-perusahaan besar pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) (PKP2B) yang berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Awalnya memang pemerintah menetapkan bahwa royalti 0% ditetapkan untuk volume dme kemudian harga khusus. Namun apakah ini cukup, ini yang menarik karena dengan kondisi yang ada apalagi apakah DME cost ini ketemu dengan LPG impor ini menarik. Menurut saya memang kita gak sebatas melihat bagaimana aspek batu bara royalti atau harga. Kita pandang ini sebagai proyek baru chemical industri sehingga fiskal dan non fiskal harus diletakkan di situ,” katanya.