Kisah Pengusaha Tas: Modal Rp100 Ribu Jadi Omzet Rp150 Juta

JF Bags (CNBC Indonesia/ Anisa Sopiah)

Pandemi COVID-19 meninggalkan banyak cerita tentang sulitnya Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bertahan. Namun di balik tantangan untuk bertahan pada masa sulit tersebut, ada pelajaran berharga bagi mereka yang bisa membaca peluang dan berusaha bangkit untuk jauh lebih kuat.

Judy Kurniawan, pemilik Judy and Frances Bags (JF Bags) produsen tas anyaman kain premium, bercerita kepada CNBC Indonesia di Jakarta International Handicraft Trade Fair (INACRAFT) Rabu (26/22/2022) mengenai perjuangannya bertahan di masa pandemi.

JF Bags berdiri pada tahun 2012, dimulai dari produksi bag organizer dan goodie bag kain. Modal yang dikeluarkan oleh Judy saat itu hanya sebesar Rp 100 ribu.

“Awalnya dulu buat bag organizer, paper bag. Modalnya Rp 100 ribu, tapi hasilnya tetap banyak karena ambil bahannya dari imitasi. Tapi itu kan murah ya kalau dijual, kita bagi ke tukangnya kita kasihan,” kata Judy.

Berawal dari niat baik untuk menyejahterakan karyawannya, Judy kemudian beralih untuk memproduksi tas, yang akhirnya terus ia kembangkan sampai saat ini. “Kemudian, kita pengen buat yg eksklusif, kita pengen naik tingkat, mau naik level, kita minta sama Tuhan, terus Tuhan kasih seperti ini,” paparnya.

Sumber inspirasinya saat itu adalah tas-tas luar negeri. Bersama istrinya, Judy mencoba untuk membuat tas anyaman dengan menggunakan bahan asli Indonesia. “Dulu awalnya terinspirasi dari melihat tas-tas anyaman punya luar, terus kita kembangin pakai bahan-bahan dari Indonesia,” ceritanya.

Judy mengatakan yang menjadi alasan mengapa tasnya banyak diminati adalah karena tas yang diproduksinya eksklusif. Dia tidak memproduksi model yang sama, bahkan warna tiap tas berbeda-beda.

Selain itu, Judy menggabungkan berbagai kain premium untuk dianyam sehingga membentuk model yang cantik dan elegan. Ia mencontohkan dengan menunjukkan salah satu tas hasil anyaman perpaduan kain warna polos dan batik solo, songket tekstil sumatera dan songket bali.

Titik Terendah

Menurutnya, pandemi kemarin menjadi titik terendahnya selama membangun bisnis sejak tahun 2012 lalu, bahkan mereka harus menjual cincin untuk bisa mempertahankan usahanya.

“Pas pandemi, tabungankan habis, kita punya cincin kita jual,” kenangnya.

Selama Pandemi, produk JF Bags hanya terjual sekitar 2-4 produk per bulan sehingga omzet yang diterima hanya 5% dari pendapatan biasanya. Bahkan dia harus menutupi minus pendapatan dengan sisa uang yang ada.

“Sebelum pandemi omzet kita kisaran Rp 100-150 juta per bulan, tapi pas pandemi hanya dapat Rp 5 juta,” tambahnya.

Namun, kondisi ini tidak lantas membuat Judy menutup usahanya. Dia dan istri kemudian memutar otak untuk tetap bisa mempertahankan usaha yang telah mereka bangun selama 10 tahun ini. Berkat kesabarannya, Judy kemudian mendapatkan bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

“Waktu itu untungnya dapat KUR, jadi bisa bayar tukang, saya tetap produksi, bisa beli bahan, kalo nggak dapat, aduh habis,” kenangnya.

Dana KUR tersebut digunakan Judy untuk membayar karyawan dan memproduksi lebih banyak tas sambil berharap keadaan menjadi lebih baik. “Meskipun nggak jualan, tetap produksi untuk stock barang, kita optimis,” paparnya.

Kemudian, Judy dan istri berusaha memanfaatkan dana yang terbatas itu untuk berinovasi menciptakan produk, mulai dari mengembangkan modelnya hingga memperkaya desain dari tas produksinya. Momen inilah yang membuat produknya semakin bervariasi, karena di masa sulit kreativitas mereka benar-benar diasah.

Sebelum pandemi, JF Bags sangat mengandalkan jualan di acara tatap muka, seperti membuka booth di pameran. Namun, pada saat pandemi, kegiatan itu tidak memungkinkan sehingga memaksa mereka untuk berjualan online. Melihat peluang ini, Judy kemudian mulai menghidupkan media sosial JF Bags dengan nama @jfbagscalaoque dan mempromosikannya lewat unggahan yang lebih menarik. Berkat usaha promosinya itu, bahkan mereka sampai ‘diendorse gratis’ dan mendapatkan foto promosi dari istri Gubernur Jawa Tengah.

Sekarang, Judy merasa perlahan usahanya mulai bangkit kembali. Dari kondisi terdesak dengan modal seadanya, dia dan istri terus berinovasi untuk memproduksi tas yang eksklusif dengan desain yang tidak pasaran. Sampai akhirnya, sejak pameran mulai kembali sering diadakan di 2022 ini, Pak Judy bisa mendapatkan omzet seperti dulu lagi.

“Pernah kemarin, kalo pas pameran baru bisa sampe segitu (Rp 100-150 juta),” katanya.

Ke depan, Judy berencana untuk memperluas pasarnya hingga ke luar Jawa. Ia juga berharap dapat memproduksi lebih banyak lagi model dan desain tas dari anyaman kain premium tersebut.

Dari pengalaman jatuh bangun bisnisnya, Pak Judy berpesan kepada para pebisnis yang baru terjun ke dunia bisnis agar jangan pernah menyerah. Selain itu, ia juga berpesan untuk membuat apapun dengan serius untuk hasil yang memuaskan.

“Jangan pernah patah semangat, jangan menyerah, dan produknya dibuat rapi, jadi orang yang melihat itu akan puas,” pesannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*