3 Negara Ini Bakal ‘Sakit Parah’ Jika Harga Minyak US$100

Kilang minyak

Harga minyak mentah dunia terpantau mengalami lonjakan akhir-akhir ini dipicu oleh rencana pemangkasan produksi dari negara eksportir minyak (OPEC)+.

Kenaikan harga minyak ini terjadi setelah OPEC+ berencana memangkas produksi minyak mentah lebih lanjut sekitar 1,16 juta barel per hari.

Total volume pemotongan oleh OPEC+, kelompok organisasi negara eksportir minyak dengan Rusia dan sekutu lainnya, menjadi 3,66 juta barel per hari menurut perhitungan. Jumlah tersebut setara dengan 3,7% dari permintaan global.

Keputusan OPEC ini tentu saja membuat banyak negara pusing mengingat harga minyak mentah bisa melonjak, terutama negara pengimpor minyak.

Mengacu pada Refinitiv, pada perdagangan hari ini Jumat (7/4/2023) pukul 11:00 WIB harga minyak mentah acuan Brent tercatat di US$ 84,77 per barel, turun tipis 0,05% dari posisi kemarin.

Sedangkan jenis West Texas Intermediate (WTI) turun 0,15% menjadi US$ 80,7 per barel.

Meskipun terpantau turun tipis, namun harga minyak masih dalam tren positif. Pemotongan produksi yang mengejutkan oleh OPEC dan sekutunya membuat harga minyak kembali mengalami kenaikan.

Menurut para analis, importir minyak utama seperti India, Jepang dan Korea Selatan akan merasakan ‘sakit’ yang paling parah jika harga mencapai US$ 100 per barel.

Pekan lalu, OPEC+ mengumumkan pengurangan produksi sebesar 1,16 juta barel per hari, Ini merupakan langkah mengejutkan yang tidak diharapkan oleh pasar minyak.

“Ini adalah pajak bagi setiap ekonomi pengimpor minyak,” kata Pavel Molchanov, direktur pengelola bank investasi swasta Raymond James dikutip dari CNBC Internaional.

“Bukan AS yang paling merasakan sakit dari minyak US$ 100, melainkan negara-negara yang tidak memiliki sumber daya minyak domestik: Jepang, India, Jerman, Prancis … untuk menyebutkan beberapa contoh besar,” kata Molchanov.

Pemotongan sukarela oleh negara-negara kartel minyak akan dimulai pada Mei dan berlangsung hingga akhir 2023.

Baik Arab Saudi maupun Rusia akan memangkas produksi minyak sebesar 500.000 barel per hari hingga akhir tahun ini, sementara anggota OPEC lainnya seperti Kuwait , Oman, Irak, Aljazair dan Kazakhstan juga mengurangi produksi.

Irak akan mengurangi produksinya sebesar 211.000 barel per hari, menurut pernyataan resmi.

United Arab Emirates (UEA) mengatakan akan memangkas produksi sebesar 144.000 barel per day (bpd), Kuwait mengumumkan pemotongan 128.000 bpd.

Banyak Negara Sangat Bergantung Pada Impor Minyak

“Wilayah yang paling terpukul oleh pemotongan pasokan minyak dan lonjakan harga minyak mentah terkait adalah wilayah dengan tingkat ketergantungan impor yang tinggi dan pangsa bahan bakar fosil yang tinggi dalam sistem energi primer mereka.

“Jika minyak naik lebih jauh, bahkan minyak mentah Rusia yang didiskon akan mulai mengganggu pertumbuhan India” kata direktur Grup Eurasia, Henning Gloystein.

Artinya, yang paling terekspos adalah industri pasar negara berkembang yang bergantung pada impor, terutama di Asia Selatan dan Tenggara, serta industri berat yang sangat bergantung pada impor di Jepang dan Korea Selatan.

India

India merupakan konsumen minyak terbesar ketiga di dunia, dan telah membeli minyak Rusia dengan diskon besar sejak sanksi dijatuhkan pada Rusia sebagai tanggapan atas invasinya ke Ukraina.

Menurut data pemerintah, impor minyak mentah India naik 8,5% pada Februari dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Meskipun mereka masih mendapat untung dari potongan harga gas Rusia, mereka sudah dirugikan oleh harga batu bara dan gas yang tinggi,” kata Gloystein.

Maka, jika minyak naik lebih jauh, bahkan minyak mentah Rusia yang didiskon akan mulai mengganggu pertumbuhan India.

Jepang

Minyak adalah sumber energi paling signifikan di Jepang, dan menyumbang sekitar 40% dari total pasokan energinya.

“Tidak memiliki produksi dalam negeri yang menonjol, Jepang sangat bergantung pada impor minyak mentah, dengan antara 80% hingga 90% berasal dari kawasan Timur Tengah,” kata Badan Energi Internasional (IEA) dalam sebuah catatan.

Korea Selatan

Demikian pula untuk Korea Selatan, minyak merupakan bagian terbesar dari kebutuhan energinya, menurut perusahaan riset independen Enerdata. Diketahui, Korea Selatan dan Italia lebih dari 75% bergantung pada minyak impor.

Lantas, Bagaimana Dampak Terhadap Ekonomi Negara Berkembang?

Beberapa pasar negara berkembang yang “tidak memiliki kemampuan mata uang asing untuk mendukung impor bahan bakar ini,” akan terkena dampak negatif dari label harga US$ 100.

Menurut Molchanov dia mengungkapkan bahwa Argentina, Turki, Afrika Selatan, dan Pakistan sebagai ekonomi potensial yang akan terpukul. Ditambah lagi Sri Lanka, yang tidak memproduksi minyak di dalam negeri dan 100% bergantung pada impor, juga sangat rentan terkena dampak yang lebih parah.

“Negara-negara dengan mata uang asing paling sedikit dan importir akan paling terpukul karena harga minyak dalam dolar AS,” kata pendiri Energy Aspects, Amrita Sen, yang menambahkan bahwa biaya impor akan naik lebih jauh lagi jika greenback menguat.

Di sisi lain, harga US$ 100 per barel tidak akan permanen. Namun, sementara US$ 100 per barel mungkin berada di cakrawala, titik harga yang lebih tinggi mungkin tidak bertahan lama.

“Dalam jangka panjang, harga bisa lebih sesuai dengan keadaan kita saat ini. Begitu minyak mentah mencapai US$ 100 per barel dan bertahan di sana sebentar, itu mendorong produsen untuk benar-benar meningkatkan produksi lagi,” kata Gloystein.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*